Ngetop Abizzz...

Rabu, 14 Maret 2012

Bila Politik Bersemayam di Bisnis Penyiaran

Mahfudz Siddiq 676
Monopoli lembaga penyiaran lebih bahaya ketimbang monopoli sektor bisnis lain. UU Penyiaran pun sedang ditarik-ulur: diperkarakan di Mahkamah Konstitusi, dipersoalkan di Senayan.


  Senayan - RAPAT Pansus RUU Pemilu di Ruang Kura-kura, Kompleks Parlemen, siang itu, hanya dihadiri 15 orang. Rapat tak mesti kuorum karena forum ini memang bukan untuk mengambil keputusan. Agenda rapat ini hanya rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang menghadirkan Direktur Eksekutif IndoBarometer Muhamad Qodari dan peneliti senior Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Rustam Effendi.


Pansus RUU Pemilu yang dipimpin Arif Wibowo dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga mengundang lembaga survei lainnya, duo LSI: Lembaga Survei Indonesia dan Lingkaran Survei Indonesia. Namun, kedua lembaga itu tak mengirimkan perwakilan. Padahal materi yang dibahas terkait dengan bidang garapan mereka, tentang aktivitas survei yang bakal diatur dalam RUU Pemilu.

Arif Wibowo 332Arif Wibowo mengatakan, lembaga survei perlu diatur dalam UU Pemilu. Sebab, aktivitas lembaga survei dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Kolaborasi sebuah lembaga survei dan stasiun televisi misalnya, dapat cepat mengubah peta suara. Ia khawatir peluang pemenang Pemilu hanya dimiliki mereka yang dapat menguasai televisi dengan kekuatan modal ataupun koneksi.

"Bila sebuah lembaga survei berkolaborasi dengan sebuah medium televisi dan menyampaikan hitung cepat secara realtime, itu bisa mempengaruhi sikap pemilih di tempat lain. Makanya, dalam draf kami ada klausul hitung cepat dapat dipublikasikan setelah penghitungan suara selesai di Indonesia bagian barat," kata Arif Wibowo.

Kekhawatiran Arif Wibowo masuk akal. Tak lama setelah Pansus RUU Pemilu membahas lembaga survei dan iklan politik di televisi, Hary Tanoedsoedibjo mempublikasikan diri sebagai fungsionaris Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Pemilik grup MNC (RCTI, MNC TV, televisi berbayar Indovision, Sindo TV dan Global TV termasuk jaringan televisi lokal dan radio) itu kini berkolaborasi dengan Surya Paloh, pendiri Nasdem sekaligus bos Metro TV.

Bergabungnya dua bos itu kian meneguhkan tren penumpukan kekuatan bisnis dan politik pada kalangan tertentu saja. Di luar mereka, ada grup Trans Corporation (Trans TV, Trans 7, portal berita detik.com) dan grup Surya Citra Media (SCTV, O Channel, Elshinta TV dan Indosiar). Ada pula grup Bakrie yang menguasai Antv, TvOne, dan JakTV.

Salahkah mereka?

Jika bersandar pada UU Perseroan Terbatas dan UU Larangan Praktik Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat (Antimonopoli), langkah mereka sah-sah saja. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan makin mengokohkan upaya penumpukan kekuatan bisnis dan politik. Pertengahan Desember lalu, lembaga ini mengeluarkan keputusan bahwa akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (pemilik SCTV) adalah sah. Logo Televisi di Indonesia

Keputusan KPPU ini hanya menguntungkan pengusaha, dan menyingkirkan kepentingan publik. Demikian pendapat Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP). Ujungnya, langkah bisnis yang dapat berpengaruh ke politik akan terus terjadi jika hanya mengacu pada kedua UU tersebut. Karena itu, KIDP mempersoalkan hal ini melalui payung hukum yang lain.

Awal Januari lalu, KIDP mengajukan uji materi UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi dengan memperkarakan Pasal 18 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2002. Gugatan ini diajukan karena telah terjadi penafsiran sepihak terhadap kedua pasal tersebut yang digunakan untuk kepentingan sekelompok pemodal. KIDP berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengakhiri multitafsir atas kedua pasal tersebut.

"Kedua pasal itu menegaskan bahwa pemusatan kepemilikan atas frekuensi tidak dibenarkan. Akibat tidak dilaksanakannya aturan itu, diversity of ownership dan diversity of content yang diamanahkan UU Penyiaran tidak pernah dinikmati publik," ujar Eko Maryadi, koordinator KIDP.

Monopoli Penyiaran = Menguasai Otak dan Pikiran

Pengamat media dari Universitas Gadjah Mada Amir Effendi Siregar berpendapat, monopoli bersifat kuantitatif dan kualitatif. Jadi, menguasai frekuensi penyiaran sudah termasuk kategori monopoli. "Monopoli dalam dunia penyiaran tidak bisa disamakan dengan industri sepatu," katanya.

Pendapat Amir diamini Paulus Widiyanto. Menurut mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran ini, monopoli bisnis penyiaran tak beda dengan monopoli dagang semen. Bahkan, kata dia, efeknya jauh lebih besar karena, "Monopoli penyiaran itu bisa sampai memonopoli otak dan pikiran manusia." Paulus Widianto 445

Mengacu pada penjelasan kedua tokoh tersebut, menurut Eko Maryadi, keputusan KPPU dalam kasus akuisisi Indosiar hanya berpatokan pada sifat kuantitatif monopoli. Keputusan dibuat hanya dengan mempertimbangkan nilai omset dan aset gabungan dua perusahaan yang dianggap tidak melanggar batas minimal sesuai UU 5/1999. Palu langsung diketok tanpa memperhatikan aturan lain yang lebih spesifik, yakni UU Penyiaran. Padahal UU ini jelas mengatur prinsip pengalihan, akuisisi dan transaksi jual beli lembaga penyiaran.

Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran menyatakan, kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau badan hukum di satu wilayah siaran atau di beberapa wilayah siaran adalah dibatasi. Sedangkan Pasal Pasal 34 ayat 4 menegaskan, izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindah-tangankan dengan cara dijual, dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat mana pun.

Berdasarkan UU Penyiaran, setiap transaksi oleh lembaga penyiaran swasta tidak serta merta memperjualbelikan frekuensi. Frekuensi dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) harus dikembalikan ke negara.

"Batasan tersebut sudah seharusnya menjadi prinsip penting yang wajib diikuti oleh semua lembaga pemerintah dan masyarakat dalam menilai sah tidaknya akuisisi, merger dan sebagainya dalam dunia penyiaran," kata Eko.

Perguliran Wacana di Senayan

Bagaimana parlemen menyikapi karut-marut penyiaran ini?

Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq gusar melihat tingkah pelaku bisnis penyiaran. Celakanya, menurut politisi PKS ini, konten UU Penyiaran tak mampu mengatasinya. RUU Penyiaran yang kini sedang digodok di Senayan pun masih mentah.

Menurut dia, semua fraksi memang sepakat merevisi UU Penyiaran. Tetapi hingga kini belum ada tarik menarik kepentingan. Meski demikian, di kalangan dewan muncul wacana radikal terhadap RUU ini. Sebagian berpendapat, isi UU Penyiaran sekarang dirombak total. Sebagian lagi mengusulkan penggantian dengan UU baru. Mahfudz Siddiq 676

"Ya, sekalian mewacanakan untuk memisahkan lembaga penyiaran publik (LPP) dari UU Penyiaran," kata Mahfudz Siddiq saat ditemui Jurnalparlemen.com di lantai 3 Gedung Nusantara I, pertengahan Januari lalu.

Di luar wacana pembongkaran maupun penggantian RUU Penyiaran, TVRI dan RRI jadi pembahasan tersendiri. Kedua lembaga penyiaran publik itu dianggap tak cukup ditampung di UU Penyiaran. Perlu aturan tersendiri yang lebih detail.

Max Sopacua mengaku setuju jika TVRI dan RRI diatur secara khusus. Menurut anggota Komisi I asal Fraksi Partai Demokrat ini berpendapat, kedua lembaga tersebut tidak mungkin disatukan dengan penyiaran lain karena tujuan dan karakternya berbeda. Ia mencontohkan televisi BBC di Inggris yang bebas dari intervensi pemerintah dan tekanan pihak lain karena ditampung dalam UU tersendiri.

Pendapat ini ditentang Gamari Sutrisno, Wakil Ketua Panja RUU Penyiaran yang kini bertugas di Komisi II. Menurut dia, lembaga penyiaran publik harus tetap ada di UU Penyiaran. Tetapi, sergahnya, harus ada kesepakatan terlebih dulu tentang sistem penyiaran nasional Indonesia.

"Menurut saya, ini yang lebih penting daripada harus memisahkan keduanya. Memang keduanya memiliki karakter berbeda, LPP sifatnya benefit oriented sementara lembaga swasta profit oriented. Tapi itu tidak harus dipisahkan," ujar Gamari Sutrisno.

Wacana terus bergulir di seputaran UU Penyiaran. Di luar konten aturan, muncul pula usulan untuk mengubah struktur Panja RUU Penyiaran. Usulan ini menyikapi lambatnya gerak Panja. Kinerja Panja dinilai rendah karena tak kunjung menghasilkan sesuatu yang penting.

Mahfudz Sidiq mengaku turut mendorong perubahan struktur kepengurusan Panja. Namun, ia buru-buru menimpali bahwa usulan ini diajukan agar terjadi distribusi kewenangan sehingga pembahasan RUU jadi lebih efektif. Ia menepis anggapan adanya upaya pendongkelan terhadap posisi Ketua Panja saat ini, Hayono Isman dari Fraksi Partai Demokrat. "Tidak seperti itu. Selama ini Pak Hayono masih mampu," tangkisnya.

Teguh Juwarno, anggota Komisi I dari Fraksi PAN, tersenyum simpul saat ditanya isu pendongkelan Ketua Panja Penyiaran. "Biasalah, kalau kinerja rendah kan yang paling enak tinggal menyalahkan Ketua Panja," ujarnya bergurau.

Menurut Teguh, tak semua anggota Komisi I terutama yang masuk keanggotaan Panja RUU Penyiaran mumpuni untuk membahas penyiaran. Karena itu, ia mengajak kekuatan masyarakat sipil untuk terus mendorong dan memberikan masukan kepada Panja RUU Penyiaran.

"Bisa jadi memang anggota Panja ini tidak mengerti sama sekali tentang penyiaran. Karena itu perlu terus diberi masukan termasuk kalau mungkin draf jadi," kata Teguh.

Gamari Sutrisno mengakui, kinerja Panja yang ia pimpin bersama Hayono Isman memang rendah. Buktinya, sederet klaster konten RUU ini sama sekali belum dibahas. Sebelum masa reses Desember lalu misalnya, pembahasan masih berkutat pada klaster lembaga penyiaran publik. Ia memperkirakan rapat akan alot dan menarik perhatian publik jika pembahasan klaster sudah sampai pada lembaga penyiaran swasta. Sebab, di situ banyak sekali yang berkepentingan.

Hanya, kata dia, guna mempercepat pembahasan RUU ini memang diperlukan pendistribusian wewenang Panja. Tentu saja bukan bertujuan mempreteli kewenangan Ketua Panja. "Kami saat itu hanya menginginkan bahwa bila tidak ada Ketua Panja, rapat dapat tetap berlangsung dipimpin wakil-wakilnya," ujarnya.

Melihat kondisi di Senayan, boleh jadi pembahasan revisi UU Penyiaran tak segera rampung. Sementara UU Penyiaran yang sedang diperkarakan di MK belum juga berujung putusan. Padahal di luar sana, para pelaku bisnis penyiaran terus berakrobat, tak terkecuali dengan kalangan politik. Di tengah tumpang tindih dan ketidakjelasan regulasi bisnis penyiaran, agaknya hukum alam berlaku: siapa cepat, dia yang dapat. ***end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar