Oleh : Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri
Allah sengaja membedakan pembagian potensi diri diantara
hamba-hamba-Nya. Baik itu tentang potensi plus, yakni potensi
kelebihan, keunggulan atau kekuatan. Maupun terkait potensi minus,
yaitu potensi kekurangan atau titik kelemahan. Dan itu juga baik dalam
hal bidang potensi, maupun dalam tingkatan masing-masing.
Yang
demikian, agar antar para hamba Allah yang berbeda-beda bidang dan
tingkat potensinya, terjadi kondisi saling melengkapi, saling memahami
dan saling kerja sama. Dan memang hanya dengan sunnatullah itulah hidup
ini bisa berlangsung dengan baik dan normal. Kita tidak bisa
membayangkan, bagaimana hidup bisa berjalan, andai yang diberikan oleh
Allah kepada semua hamba-Nya adalah potensi kekayaan saja misalnya,
tanpa ada orang miskin? Atau sebaliknya, dibuat berpotensi miskin
semua, tanpa ada yang kaya?
Nah, sebagaimana dalam hal potensi
kaya dan miskin, Allah-pun membedakan pembagian potensi plus dan minus
diantara manusia dalam hal tabiat, sifat, watak, karakter, kemampuan,
kecenderungan, kesukaan dan lain-lain. Tujuan dan hikmahnya jelas,
seperti yang telah disebutkan diatas, agar hidup bisa berlangsung dan
berjalan dengan normal, baik dan ideal. Yakni dengan terwujudnya
kondisi saling melengkapi satu sama lain. Dimana kelemahan si-A
misalnya dalam satu bidang tertentu, akan ditutup oleh kekuatan si-B di
bidang tersebut. Sementara itu sebaliknya, kekurangan si-B di bidang
lain, akan dilengkapi oleh kelebihan si-A di bidang itu, dan begitu
seterusnya.
Oleh karena itu justru tidak baik dan tidak tepat
jika sebuah perhimpunan misalnya hanya terdiri dari orang-orang dengan
bidang dan potensi kelebihan serta keunggulan yang sama. Tentu kecuali
yang berdasarkan kebutuhan dan tuntutan spesialisasi bidang tertentu.
Seperti dalam hal pernikahan, perjodohan dan kehidupan rumah tangga
misalnya. Dimana tidak sedikit suami atau istri menghendaki dan
menginginkan pasangannya dengan potensi kelebihan, keunggulan dan
kekuatan yang sama persis dengan yang ada pada dirinya.
Umumnya
mereka tidak sadar bahwa, jika kelebihan dan keunggulan sama, maka
biasanya dalam bidang dan potensi kekurangan serta kelemahan juga akan
sama. Dan tentu saja itu tidak baik, tidak tepat dan tidak ideal,
karena berarti antar mereka tidak bisa saling menutup kelemahan dan
saling melengkapi kekurangan.
Maka, selanjutnya, dengan
demikian, setiap orang itu pasti memiliki potensi plus di satu sisi,
dan sekaligus juga mempunyai potensi minus di sisi yang lain. Disamping
itu memang sudah merupakan sunnatullah, juga penting dipahami bahwa,
hal itu tidaklah masalah. Karena selama disikapi dengan tepat dan
proporsional, kedua potensi kuat dan lemah tersebut sama-sama bisa
menjadi sarana untuk meraih poin kemuliaan khususnya di sisi Allah
Ta’ala. Maka, sebelum bertaaruf dengan orang lain, setiap individu dari
kita wajib bertaaruf terlebih dulu dengan dirinya sendiri, dengan
tujuan untuk mengenali dan menyadari plus dan minus potensi diri yang
telah dibagi oleh Allah untuknya.
Dan urgensi mengenali
potensi plus dalam diri, adalah agar bisa disyukuri dengan cara
disadari, diakui, digali, dan dioptimalkan pemanfaatannya untuk
memperoleh poin nilai dan pahala yang sebanyak-banyaknya, serta demi
meraih prestasi diri yang seistimewa-istimewanya, melalui sarana
potensi plus diri tersebut. Maka wajiblah bagi setiap orang yang
memiliki potensi plus di satu bidang tertentu, untuk memahami dan
menyadari adanya semacam “pesan” dari Allah bahwa, dengan diberikannya
kelebihan dan keunggulan itu berarti memang di bidang itulah terletak
prioritas amal, peran dan peluang perstasinya dalam hidup ini. Tinggal
kewajibannya untuk merawat dan mengoptimalkannya! Sebaliknya hendaklah
masing-masing kita selalu waspada, jangan sampai termasuk kategori
orang-orang kufur nikmat, yang mengabaikan dan menyia-nyiakan potensi
kelebihan dan keunggulan dirinya di bidang tertentu, karena sibuk hanya
mengagumi potensi kelebihan, keunggulan dan kehebatan di bidang lain
yang dibagikan oleh Allah kepada orang lain.
Sementara itu,
mengenali dan menyadari akan potensi minus dan titik-titik kelemahan
dalam diri, wabilkhusus titik kelemahan terlemahnya, tidak kalah
penting dan urgennya. Karena dengannya setiap kita akan berupaya untuk
lebih waspada, berhati-hati dan berantisipasi, dengan harapan dan
tujuan agar bisa minimal tetap aman dan selamat dari segala kemungkinan
bahaya keterjebakan, keterperosokan dan kefatalan akibat potensi minus
diri dan titik kelemahannya itu. Bahkan bila seseorang tidak waspada,
tidak hati-hati dan lemah antisipasi, tidak jarang ia berpotensi besar
untuk terjatuh dan terserimpung dalam kondisi-kondisi fatal yang tidak
logis, dimana kefatalan itu akan berdampak dan berakibat sangat buruk,
karena bisa menutupi dan menghapus prestasi-prestasi hebat dan gemilang
yang mungkin telah yang diukirnya di bidang-bidang kelebihan,
keunggulan dan potensi plusnya!
Sedangkan kewajiban setiap
individu diantara kita terhadap potensi minus dan titik-titik lemah
dirinya itu, khususnya bagian terlemahnya, adalah: mengenalinya,
menyadarinya, mengakuinya, bertekad sungguh-sungguh dan berupaya riil
dalam rangka menutupnya, meminimalisir dampak-dampak negatifnya, dan
selalu bermujahadah demi memperbaikinya seoptimal mungkin, serta yang
tak kalah urgen adalah selalu berusaha menjauhkan dan menghindarkannya
dari setiap kondisi, atau situasi, atau posisi yang bisa berpotensi
bahaya bagi titik-titik kelemahan dan aspek-aspek minus dalam dirinya
tersebut.
Sebagai contoh misalnya, jika seorang laki-laki
sadar bahwa titik terlemah dirinya adalah haktor daya goda wanita
misalnya, dan ini adalah titik terlemah setiap laki-laki sehat dan
normal, maka ia harus selalu bersikap antisipatif dengan berupaya
sebisa mungkin untuk menghindar dari kondisi-kondisi, situasi-situasi,
atau posisi-posisi yang memungkinnya banyak berinteraksi dan
bersinggungan langsung dengan kaum hawa, terutama yang bertampilan,
berpenampilan berprilaku dengan daya goda yang na’udzu billah!
Dan contoh lain, bila seseorang merasa bahwa potensi terminusnya ada
pada kelemahannya dalam aspek tanggung jawab harta misalnya, maka ia
wajib senantiasa berusaha seoptimal mungkin untuk menghindarkan diri
dari posisi-posisi dan amanah-amanah yang berhubungan langsung dengan
tanggungan harta, uang dan dana. Seperti misalnya dengan menjadi
bendahara organisasi atau yayasan misalnya, atau sebagai penanggung
jawab kas masjid, atau lebih-lebih menjadi pemegang amanah harta
warisan anak yatim, dan seterusnya.
Meskipun demikian, di sisi
lain, potensi minus dan aspek kelemahan diri ini, seperti telah
disinggung dimuka, juga tetap bisa menjadi sarana untuk mengumpulkan
sebanyak mungkin poin nilai dan pahala, serta demi meraih setinggi
mungkin derajat kemuliaan, khususnya yang jelas di mata Allah Ta’ala.
Namun poin-poin nilai dan pahala serta derajat kemuliaan disini
tidaklah diraih dari aspek hasil amal yang banyak dan istimewa. Tidak.
Melainkan itu semua bisa didapat melalui jalur istimewanya nilai dan
berlipatnya imbalan serta luar biasanya penghargaan bagi upaya
mujahadah itu sendiri! Meskipun dari aspek hasil, tetap sangat jauh
dari harapan dan target ideal.
Sehingga sekali lagi, baik
potensi plus maupun potensi minus pada diri seseorang, keduanya
sama-sama bisa menjadi sarana istimewa dan faktor luar biasa demi
meraih kemuliaan dan menghimpun poin nilai dan pahala, utamanya dalam
timbangan syariah Islam, namun dari jalur yang berbeda. Jika dari
potensi plus (keunggulan) diri, derajat mulia dan nilai serta pahala
istimewa bisa diraih melalui prestasi-prestasi sebagai buah dan hasil
amal dan usaha yang sebanyak-banyaknya. Maka dari potensi minus
(kelemahan) diri, itu semua didapat dari istimewanya nilai mujahadah
itu sendiri dalam rangka menutup kekurangan, menguatkan kelemahan, dan
meminimalisir potensi dampak buruknya, meskipun tidak mengapa dari sisi
hasil tetap tidak memuaskan!
Semoga hidayah dan taufiq Allah
senantiasa menyertai kita semua, sehingga bisa saling bekerja sama
dalam upaya menjadikan semua potensi diri, baik yang plus maupun yang
minus, demi meraih kemuliaan di dunia ini, wabilkhusus di akherat kelak
di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Aamiin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar