“Kalau kalian kader PKS, tolong ingatkan elite partai
kalian tentang: tahu diri, tariklah menteri-menteri kalian dari koalisi. Jangan
cuma mau jabatan menterinya doang, sementara di sisi lain sibuk menikam. Urusan
ini prinsipil sekali."
Kalimat ini ditulis oleh salah seorang teman, di fans page
FB-nya, pada Sabtu malam (31/03/2012)
sekitar pukul 23.00 WIB. Ia tak sendiri. Cukup banyak kalangan yang juga
menghujat PKS atas aksinya menolak kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna
DPR. Ada yang mengatakan PKS bermain di dua kaki, PKS Pengkhianat, PKS Bunglon,
dan sebagainya.
Sungguh, saya merasa tergelitik melihat fenomena tersebut.
Saya sangat khawatir, mereka yang beropini miring terhadap PKS mengidap penyakit
salah garuk. Kepala yang gatal, tapi kaki yang digaruk. Hidung yang gatal, tapi
tangan yang digaruk.
Manuver politik PKS yang notabene anggota koalisi
pemerintahan SBY-Boediono, sesungguhnya sah-sah saja dilakukan. Praktek koalisi
yang dilakukan oleh negara-negara yang sudah lebih lama menerapkan demokrasi,
persis sama dengan apa yang dilakoni PKS. Di AS yang menganut sistem presidensial murni,
kebijakan tertentu yang dikeluarkan pemerintah tak selalu mendapat sokongan
partai koalisi. Sikap mereka terbelah. Jangan heran jika ada senator yang tidak
mendukung kebijakan dari Presiden dari partainya. Dan para senator tersebut tak
lantas disebut pengkhianat dan bermain dua kaki. Begitu pula dengan praktek
koalisi di negara lainnya.
Saya ingin mendudukkan persoalan koalisi ini dalam konteks
yang tepat. Hujatan terhadap sikap PKS sangat tidak tepat karena akar
masalahnya bukan karena PKS mbalelo, tapi karena jenis kelamin sistem
politik kita tak jelas. Sistem parlementarisme tidak, presidensialisme juga tidak.
Negeri kita menganut sistem politik kombinasi: gabungan
antara parlementarisme (multipartai) dan presidensialisme. Istilah koalisi
hanya ada dalam sistem parlementer dan penggabungan dua sistem ini menimbulkan
sedikitnya dua problem.
1) Terpisahnya pemilihan presiden dan parlemen memungkinkan terpilihnya seorang presiden yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di Parlemen (minority government).
2) Koalisi politik yang terbentuk sangat rapuh. Di satu pihak, partai koalisi harus loyal pada Presiden. Tapi dipihak lain, partai anggota koalisi dapat melakukan manuver di parlemen untuk membangun popularitas dan elektabilitasnya serta menyuarakan aspirasi pendukungnya.
Aksi PKS yang menolak tegas kenaikan harga BBM harus
ditempatkan pada konteks tersebut di atas. Bahwa manuver cerdas semacam itu
sangat dimungkinkan terjadi dalam sistem politik kita. Bahwa ada ruang yang
tersedia bagi semua partai koalisi untuk bisa melakukannya. Bahwa ada celah
yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan politik jangka pendek dan
jangka panjang.
Pertanyaannya, mengapa hanya PKS yang tergerak melakukannya?
Setidaknya ada dua hal.
Pertama, lemahnya posisi tawar. Bercermin dari
soliditas dan militansi kader PKS, saya melihat mereka bisa jadi merupakan
satu-satunya partai koalisi yang paling banyak mengeluarkan keringat ketika
pilpres 2009 lalu. Salah seorang elit PKS mengatakan bahwa hampir di seluruh
TPS, kader merekalah yang menjadi saksi.
Kedua, orientasi partai koalisi lainnya (PKB, PAN, PP,
Golkar) sangat pragmatis. Meminjam istilah
Steven B. Wolinetz: pencari-jabatan (office-seeking). Orientasi office seeking membuat perilaku partai
lebih pragmatis-jangka pendek terutama
dalam mengejar posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Buat partai jenis tersebut, jabatan adalah
segala-galanya. Kursi menteri adalah yang paling utama. Karena itu, mereka
sangat tidak mungkin menolak kenaikan harga BBM karena takut kehilangan kursi
menteri.
Sangat kontras dengan PKS yang menurut saya memiliki
orientasi policy seeking(pencari kebijakan). Bagi partai semacam ini,
kebijakan memiliki makna strategis dan vital terutama jka menyangkut
kepentingan rakyat. Karena itu, sangat mudah bagi mereka untuk menolak kenaikan
harga BBM karena kebijakan tersebut berpotensi besar menyengsarakan kehidupan
rakyat.
Pada titik inilah kita akhirnya dapat melihat dengan jernih
bahwa penolakan PKS bukan karena mereka pengkhianat, bermain dua kaki, atau
menikam dari belakang. Hanya mereka yang masih salah garuk sajalah yang terus
beropini demikian.
Karena itu, ijinkan saya untuk mengutip pendapat salah
seorang profesor ilmu politik Indonesia yang juga tokoh reformasi, Amien Rais.
Saya berharap, mereka yang masih miring dengan kelakuan PKS, bisa berubah
setelah membacanya.
Kata Amien Rais, seperti dimuat dalam www.vivanews.com, rencana pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah kebijakan yang melanggar
konstitusi. Oleh karena itu ia meminta PAN bersikap tegas dan tidak perlu
mengikuti sikap mitra koalisi lain yang mayoritas mendukung kebijakan tersebut.
“Koalisi yang membabi-buta namanya bukan koalisi, tapi jadi
agen atau klien,” kata Amien di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, DIY, Kamis 22 Maret 2012.
Masih sinis dengan PKS?
Lulusan Ilmu Politik Universitas Nasional
Islamedia -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar