1. Al Imam Yahya bin Sa’id
Al-Anshari rahimahullah (wafat th. 143 H.) berkata, ”Para ulama adalah
orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana
para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah
tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh
mereka tidak saling mencela satu sama lain.” (Tadzkiratul Huffadz :
1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
2. Al-Imam Yunus bin Abdul
A’la Ash-Shadafi rahimahullah (170 – 264 H.), salah seorang murid dan
sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, berkata, ”Aku tidak mendapati
orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy-Syafi’i. Suatu
hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami
berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya
berkata, ‘Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara,
meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun? (tentu diantara
masalah-masalah ijtihadiyah).” (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
3. Para ulama salaf, dan
salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150 – 204 H.),
berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan
salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada
kemungkinan benar.”
4. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah (661 – 728 H.) berkata, ”Seandainya setiap kali
dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling
menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan
ukhuwah diantara kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri
rahimahullah (97 – 160 H.) berkata, ”Dalam masalah-masalah yang
diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang
seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu
pendapat yang ada.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
6. Khalifah Abu Ja’far
Al-Manshur rahimahullah (95 – 158 H.), atau Harun Ar-Rasyid
rahimahullah, pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya
Imam Malik rahimahullah (97 – 179) sebagai kitab wajib yang harus
diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik rahimahullah sendiri
justru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah
dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut.”
(Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
7. Khalifah Harun Ar-Rasyid
rahimahullah (148 – 193 H.) berbekam lalu langsung mengimami shalat
tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf
rahimahullah (113 – 182 H.) – murid dan sahabat Abu Hanifah
rahimahullah – pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal
berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu’
Al-Fatawa : 20/364-366).
8. Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah (164 – 241 H.) termasuk yang berpendapat bahwa berbekam
dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh
seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah
berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam
Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di
belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah (14 – 94 H.) dan Imam
Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat
bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi)
(Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
9. Imam Abu Hanifah
rahimahullah (80 – 150 H.), sahabat-sahabat beliau, Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca
basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat
bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab
Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali
ketika membaca Al-Fatihah,baik pelan maupun keras ..( lihat: Al-Inshaf
lid-Dahlawi : 109).
10. Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu
Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana hasil
ijtihad dan madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena
ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah
rahimahullah telah wafat sekian puluh tahun sebelumnya, tepat pada
tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
11. Diceritakan dari Imam Abu
Ya’la Al-Hambali rahimahullah (380 – 458 H.) bahwa, pernah ada seorang
ulama fiqih (penuntut ilmu fiqih) yang datang kepada beliau untuk
belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah) bertanya
tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau.
Maka beliaupun berkata kepadanya, “Sesungguhnya penduduk negerimu
seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu
mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami?”
Ia menjawab, “Saya meninggalkan madzhab mereka karena saya senang dan
tertarik pada Anda.” Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata,
“Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan
madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana
mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak akan
mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad
rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan
sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan
menimbulkan pertentangan. Maka statusmu tetap berada dalam madzhab Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah seperti penduduk negerimu adalah lebih utama
dan lebih baik.” (lihat: Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah
hal. 483).
wawasanislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar