Ngetop Abizzz...

Senin, 20 Februari 2012

Perlukah Alasan Palsu ? - Serial Tabuk – 4


Oleh : Cahyadi Takariawan
gambar : Google
Ini bukan judul lagu “Alamat Palsu”, tetapi sedang berhitung tentang alasan palsu. Banyak orang mengatakan kebohongan itu akan melahirkan kebohongan berikutnya. Untuk menutupi kesalahan, banyak orang melakukan kebohongan. Namun kebohongan akan diikuti oleh kebohongan lainnya, untuk menguatkan dan menutupi kebohongan sebelumnya. Jadilah rangkaian kebohongan yang tak ada putusnya.
Ka’ab bin Malik tergoda untuk membawa alasan palsu ke hadapan Nabi, sekembali beliau dari Tabuk. Sangat sulit posisinya, apa yang akan dikatakan kepada Nabi saw jika beliau bertanya alasan ketidakberangkatan ke Tabuk ? Betapa malu dirinya di hadapan Nabi dan para sahabat, jika ketidakberangkatannya tanpa alasan yang berarti. Tapi, apakah layak berbohong hanya untuk menyenangkan hati Nabi Saw, padahal Allah Maha Mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi ?

Menghindari Kemarahan Qiyadah

Dalam dakwah tidak dikenal AQS, atau “asal qiyadah senang”. Persoalan dakwah bukanlah milik para qiyadah, sehingga para qiyadah harus dibuat senang. Dakwah itu milik bersama, yang harus dikelola dan dipertanggungjawabkan secara kolektif antara qiyadah dengan seluruh aktivisnya. Untuk itu, sangat wajar terjadi dinamika dalam gerakan dakwah, ada aktivis yang ditegur atas kelalaiannya, ada pula qiyadah yang dinasehati atas perbuatannya.


Ka’ab sempat terpikir untuk menghindari kemarahan Nabi Saw, dengan membawa sejumlah alasan palsu agar ketidakberangkatannya ke Tabuk bisa dimaklumi. Tapi, apakah yang dicari semata-mata selamat dari teguran Nabi di dunia ini, sementara kelak tidak selamat di sisi Allah ?
“Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar Rasulllah saw kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada dalam pikiranku berbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw, bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku yang terkenal berpikiran baik”.

Gelisah, itulah ciri orang yang salah. Sulit sekali menutupi rasa gelisah hati, karena tabiat dosa dan kesalahan adalah menggelisahkan. Hati orang beriman sangat sensitif dengan kebaikan dan keburukan, respon hati bercorak spontan dan tidak bisa direkayasa. Misalnya memaksa hati untuk tenang dan gembira, padahal ia melakukan kesalahan dan dosa; hal ini tidak bisa dilakukan oleh orang beriman. Ka’ab menampakkan kegelisahan hati yang tidak bisa ditutupi. Semakin dekat dengan waktu kepulangan Nabi Saw ke Madinah, perasaan gelisahnya semakin menjadi-jadi.

Ka’ab sampai menyempatkan diri untuk meminta pendapat beberapa orang keluarga yang dikenal memiliki keluasan pandangan. Semua perbuatan ini menunjukkan kegelisahan hati yang tidak bisa ditutupi. Persoalannya, apakah kegelisahan ini akan ditutupi dengan kebohongan dan alasan palsu di hadapan Nabi ? Apakah persoalan selesai, hanya  dengan usaha menghindari kemarahan beliau ?
gambar : Google

Tetapkan Jati Diri Aktivis Dakwah
Bukan kader dakwah jika membawa alasan palsu. Ketidakberangkatan ke Tabuk tidak akan selesai hanya dengan kebohongan dan alasan palsu. Maka Ka’ab segera memantapkan hati, membuang semua ketakutan dan kekhawatiran. Ia ingin tampil di hadapan Nabi apa adanya, tanpa perlu rekayasa, dan tanpa polesan citra.

“Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw dan mengatakan dengan sebenarnya”.

Inilah jati diri mujahid, berani menanggung resiko, berani bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Tidak perlu berpura-pura, tidak perlu mencari-cari dalil dan dalih pembenaran atas kesalahan yang dilakukannya. Tidak perlu alasan palsu, karena justru akan semakin menjauhkan dari karakter aktivis dakwah yang sesungguhnya. Tetapkan jati diri aktivis dakwah yang istiqamah, yang memancarkan kemuliaan kendati dalam kondisi bersalah. Aktivis dakwah akan melakukan tazkiyah, pembersihan jiwa agar terbersihkan dari dosa dan kesalahan yang telah dilakukan.

“Pagi-pagi, Rasulullah saw memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali dari suatu perjalanan, pertama masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. Demikian pula usai dari Tabuk, selesai shalat beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya. Lantas, berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diselingi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang. Rasulullah saw menerima alasan lahir mereka; dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka. Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah”.

Ada delapan puluh orang yang membawa alasan palsu, dan melakukan sumpah palsu, agar ketidakberangkatan mereka ke Tabuk dimaklumi oleh Nabi. Sebagaimana keinginan mereka, maka Nabi pun menerima alasan yang mereka sampaikan, dan tidak mempersoalkan. Bahkan Nabi memohonkan ampunan bagi mereka, sedangkan kondisi hati mereka yang sesungguhnya diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui.

Mengapa Nabi menerima alasan dan sumpah palsu mereka ? Karena Nabi telah mengetahui, mereka tergolong munafik. Mereka bukanlah mujahid, maka sesungguhnya mereka hanyalah orang-orang yang lemah jiwa.  Mereka bukan kader, mereka bukan aktivis, maka sampaikanlah apapun yang ingin engkau sampaikan. Buatlah alasan sebanyak-banyaknya, toh Allah Maha Mengetahui apa yang engkau sembunyikan. Berbohonglah semaumu, dan engkau akan menanggung sendiri akibatnya kelak di akhirat.
Para aktivis bukanlah orang yang lemah jiwa. Maka mereka tidak layak mencari-cari alasan palsu dan mengadakan sumpah palsu. Mereka memiliki jati diri yang membuatnya selalu memilih jalan kemuliaan, sebagaimana yang ditempuh Ka’ab.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar