Ngetop Abizzz...

Senin, 20 Februari 2012

Hukuman Itupun Dilaksanakan - Serial Tabuk – 7

Oleh : Cahyadi Takariawan
gambar : Google
Jika memang engkau melakukan kesalahan, bersiaplah untuk menerima hukuman. Dengan cara itu, engkau memiliki harapan untuk mendapatkan rehabilitasi, lebih dari itu, ampunan Allah tentu jauh lebih utama. Sikap kerelaan mendapatkan hukuman adalah bagian dari karakter kader dakwah; yang selalu bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Tidak melarikan diri dari tanggung jawab, tidak menjauhkan diri dari persoalan, namun menghadapinya dengan sikap positif.

Ka’ab mengetahui bahwa dirinya akan mendapatkan hukuman, namun ia tidak pernah membayangkan mendapatkan sanksi sosial seberat ini. Benar-benar berat, dan belum ada seorang pun sahabat Nabi yang pernah mendapatkan hukuman semacam ini. Ia menjalani saja, tanpa melakukan protes, “Mengapa hanya saya yang mendapatkan hukuman seperti ini ? Bukankah si Fulan dan Fulan dulu juga pernah melakukan kesalahan, mengapa tidak mendapatkan hukuman seperti saya?”
Tidak, ia tidak melakukan pembelaan diri seperti itu.

Hukuman yang Sunyi
Hukuman ini panjang dan terasa “sunyi”, seperti penuturan Ka’ab.
“Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut”.
Episode hukuman yang “sunyi” tersebut telah dimulai. Para sahabat dilarang berbicara dengan Ka’ab, Murarah dan Hilal. Tidak diajak berbicara, bisakah engkau membayangkannya ? Bagaimana kita sehari saja tidak berbicara dan tidak ada orang mau berbicara kepada kita, seperti apa rasanya ? Nabi dan para sahabat mengasingkan Ka’ab, Murarah dan Hilal, serta tidak berbicara kepada mereka bertiga. Padahal mereka bertiga berada dalam komunitas kaum muslimin, setiap hari bertemu, berinteraksi, namun tidak ada tegur sapa kepada mereka bertiga.

Ada sekitar delapan puluh orang lain yang tidak berangkat ke Tabuk, namun karena mereka mengajukan alasan dan sumpah palsu di hadapan Nabi, maka mereka tidak dihukum.  Delapan puluhan orang ini bahkan berbaur seperti biasa, bergaul dengan semua sahabat Nabi, dan tidak diasingkan. Mereka berbicara, berbincang seperti hari-hari lainnya. Sama-sama tidak berangkat ke Tabuk, mengapa tiga orang ini dihukum, dan delapanpuluh lainnya tidak dihukum ?
Nabi saw tahu pasti kualitas mereka bertiga, berbeda dengan delapanpuluh orang lainnya. Nyatanya, mereka bertiga menjalani hukuman sunyi tersebut, dan tidak memprotes tindakan Nabi atas pemberlakukan hukuman yang “tidak merata” tersebut. “Mengapa mereka tidak dihukum ? Mengapa hanya kami bertiga yang dihukum ?” Tidak ada protes dan perlawanan seperti itu.
Mereka bertiga tahu persis, mengapa harus dihukum.

gambar : Google

Hidup Terasing di Negeri Sendiri
Menjalani hukuman sunyi, sepertinya sederhana saja, Bukan di penjara, bukan diborgol, bukan dibuang ke luar negeri. Namun hukuman itu benar-benar terasa berat bagi mujahid yang selalu menghendaki kebaikan dalam segala aktivitasnya. Mereka bukan ahli maksiat, bukan penjahat, hanya saja mereka bertiga melalaikan kewajiban berangkat ke Tabuk. Sekali itu saja, belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
“Kami mengucilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kepada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rekanku itu mendekam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka”.
Bisakah engkau membayangkan seperti apa rasanya dikucilkan dari pergaulan orang-orang salih ? Seperti apa rasanya tidak diajak berbicara dan berkomunikasi dengan jama’ah ? Seperti hidup di sebuah negeri yang asing, padahal itu negeri sendiri. Seperti berada dalam komunitas yang asing, padahal itu jama’ah sendiri. Seperti berada dalam lingkungan yang berbeda, padahal itu sahabat yang lama.
Didiamkan oleh qiyadah, betapa sedih hati setiap kader. Berharap-harap qiyadah bersedia menyapa dan mengajak berbicara. Namun semua orang diam. Semua orang menjauh. Semua sahabat tidak mau berbincang walau sekejap. Dirinya seakan hilang di dalam kerumunan orang-orang shalih. Tanpa bekas, menguap bersama udara. Entah kemana. Tidak ada yang melihat kepadanya. Tidak ada, semua tidak mempedulikannya.

“Aku keluar untuk shalat jamaah dan keluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majilis Rasullah saw sesudah beliau shalat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sembari hati kecilku bertanya-tanya memperhatikan bibir beliau, ‘Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Dimanapun engkau berada, tidak ada orang yang peduli denganmu. Berbelanja di pasar, di toko, di super market. Datang ke kantor organisasi dakwah, melihat orang rapat, melihat saudara-saudaramu berkegiatan dan engkau sangat ingin membantu, namun  semua diam dan tidak memandang kepadamu. Seakan engkau tidak ada. Seakan hilang semua kebaikanmu yang telah engkau lakukan selama ini. Mereka semua tidak memandangmu, apalagi berbicara. Mereka tidak mempedulikan keberadaanmu.

Semua engkau rasakan sangat sunyi. Tidak ada suara apapun yang masuk ke telingamu. Ada banyak suara di sekitarmu, namun tidak ditujukan kepada dirimu. Siapapun orang, semua sibuk dengan diri dan orang lain, namun tidak peduli kepadamu. Semua suara, semua pembicaraan, tidak ada satupun yang ditujukan kepada dirimu. Engkau melihat saudaramu para aktivis dakwah, berkegiatan siang dan malam. Betapa ingin engkau bersama mereka, mengobrol, bercanda, berkegiatan bersama. Namun tak ada yang melihatmu. Sama sekali.
Dimana posisi dirimu jika berada pada kondisi seperti itu ? Masihkah engkau bersama dakwah dan jama’ah, sementara dakwah dan jama’ah mengucilkanmu ? Masihkah engkau bersama kafilah para aktivis, sementara mereka tidak mempedulikanmu ? Bahkan engkau tidak tahu, sampai kapan pengucilan ini akan dilakukan. Apa sikapmu pada kondisi itu, masihkah engkau akan setia bersama dakwah dan jama’ah ? Padahal semua telah mengasingkanmu…..

Kesunyian Itu Mematikanmu
Bisakah engkau bayangkan, bagaimana  sebuah dunia yang sunyi ? Sebuah dunia tanpa suara, seperti apa rasanya ? Sebuah dunia tanpa kata, seperti apa bentuknya ? Engkau bisa mati dalam kehidupanmu. Engkau bisa tercekik oleh keheningan yang diciptakan khusus untukmu. Engkau bisa sesak nafas oleh himpitan kesunyian yang berlebihan.
Ka’ab tetap berusaha mendekat kepada Nabi Saw, namun beliau tetap bersikap dingin, tidak ada respon sama sekali. Betapa lama kesunyian ini….
“Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau aku bangkit mau shalat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali”.
Lama sekali hukuman sunyi ini terjadi. Kapan akan segera berakhir ?
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar