Islamedia
- Selasa pukul 23.35 saya tiba dirumah. Setelah berjumpa dengan
kawan-kawan dalam sebuah halaqoh disebrang desa sana. Saya tertarik
dengan obrolan teman teman saya yang membahas diskusi milis sedang
panas. Saya yang hari itu tidak membuka email sama sekali, menjadi
ketinggalan berita yang sedang hangat diperbincangkan dikalangan kader.
Saya pun menjadi tergelitik untuk menyalakan
laptop dirumah dan membuka internet untuk melirik diskusi yang sedang
hangat..dan hmmm…benar sekali letupan komen dari sebuah kasus begitu
meramaikan milis…saya hanya menyimak dan tidak ikut larut dalam
perbincangan yang panjang itu.
Namun
ada yang menyita perhatian saya…bukan menyita, namun sangat menyita.
Saya mendapatkan e-mail seorang sahabat yang fasih agamanya,
keilmuannya jauh melampaui saya, bahkan ia seorang hafidz Qur’an. Di
emailnya tersebut ia mengeluhkan kepada saya..
”akhy…tolong bantu do’a untuk kesembuhan ruhani saya”
seketika saya pun membalasnya
“afwan ustadz…maksud antum apa? Jangan bercanda ahh..”
“iya
akhy…akhir-akhir ini saya tidak bisa menikmati keindahan dan kenikmatan
ibadah saya kepada Allah Swt. Sholat saya berlalu begitu saja, tilawah
saya menjadi hilang makna, saya ingin mendapatkan kenikmatan dan
kebahagiaan saat berduaan dengan-Nya melalui sholat-sholat saya…”
Jleppp…kata-kata
itu, keluhan sahabat itu seolah menusuk hati saya yang terdalam..karena
apa yang ia rasa, begitu juga yang saya rasakan..
Saya
terdiam, tak mampu membalas emailnya, seketika saya pun menjadi
termenung, bercermin diri dari keluhan sahabat saya itu, saya berbisik
lirih dalam hati terdalam..”ya Allah…berikan kami kenikmatan saat
berdialog dengan-Mu…”
Sahabat,,mari
kita bicara tentang satu ibadah yang diperintahkan Allah kepada
Rasul-Nya secara langsung, bertatap wajah di Sidrothul Muntaha yakni
Sholat.
Sholat
hakikatnya adalah dialog langsung seorang hamba kepada penciptanya
yakni Allah Azza Wajalla. Seharusnya sholat mampu membuat siapapun yang
melaksanakannya merasakan ketenangan dan kebahagiaan lahir bathin,
karena pada saat itulah ia ‘berbicara’ langsung dengan Allah swt.
Seperti pertama kali perintah sholat itu ditetapkan kepada kita kaum
muslimin lewat Rasulullah Saw yang terjadi pada peristiwa mi’rajnya.
Saat mi’raj itu Rasulullah mendapat dua kenikmatan, yakni mendapat
perintah sholat sebagai mediasi dialog seorang hamba kepada sang
Kholiq, dan kenikmatan kedua adalah bertemu langsung dengan Allah Swt
di Sidrothul Muntaha.
Entah
bagaimana mendapat email seperti itu dari sahabat saya, membuat pikiran
dan hati saya melayang jauh pada peristiwa mi’raj Rasulullah Saw.
Menjadi mengenang kembali bagaimana awal sholat itu diperintahkan,
bagaimana proses perintah itu terjadi. Saya menjadi mengingat dan
membayangkan saat Rasulullah mengalami peristiwa isra mi’raj.
Membayangkan Jibril as membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis lantas
menerbangkannya naik dari bumi ke langit satu hingga menembus langit
ke-7 hingga mencapai Sidrothul Muntaha dan bertemu langsung dengan Sang
Pencipta. Mencoba membayangkan bagaimana Jibril as membawa Rasulullah
dan menuntunnya serta menunjukan kepada Rasulullah letak syurga dan
neraka sampai akhirnya mencapai Sidrothul Muntaha dan bertatapan
langsung dengan-Nya.
Oh
ternyata,,mengenang atau membayangkan kisah itu, ada desiran yang
berbeda di hati saya,,rasa kuat untuk menghadirkan “wajah” Allah
menjadi lebih berenergi..mungkinkah itu salah satu cara untuk
mengoptimalkan sholat yang selama ini terasa hambar begitu saja??
Sholat
yang selama ini tanpa makna dan tanpa bekas…takbir yang selama ini
diucapkan seolah tak ada energi untuk membesarkan asma-Nya..tak ada
getaran yang membuat hati ini merinding bahagia dan tenang menyejukkan
saat menyebut asma-Nya yang agung…sementara DIA berkata “hanya dengan
mengingatku, hati akan menjadi tenang” lalu kenapa hati ini belum juga
merasa tenang??? Astaghfirullah..ada apa dengan cintaku pada-Nya???
Ruku’ dan sujud sebagai puncak kehambaan pada-Nya pun seolah hanya
menjadi gerakan yang hilang maknanya sama sekali. Sujud yang seharusnya
menggambarkan Allah tepat berada didepan kita, dan kita seharusnya
benar-benar sujud dihadapan- Nya, bertatapan langsung dengan-Nya, dan
benar-benar tunduk sebagai symbol kelemahan diri di hadapan-Nya,
sebagaimana bertatapannya langsung Rasulullah dengan-Nya di Shidrothul
Muntaha menjadi gerakan yang tak memiliki arti sama sekali,,entah sujud
dengan siapa diri ini sebenarnya…dengan tembok kah?? Astaghfirullah…
Benar…begitulah
yang saya alami akhir-akhir ini…sholat saya hanya sekedar menggugurkan
kewajiban bukan sebagai sesuatu yang HARUS SAYA PEROLAH…alhasil sholat
sholat yang saya kerjakan berlalu begitu saja, terhapus oleh tipuan
angin, dan terbuang oleh siraman hujan gerimis yang kecil…semestinya
sholat itu adalah sesutu yang harus kita peroleh bukan sekedar
menunaikan kewajiban..sehingga dalam melaksanakannya kita lebih
bersungguh sungguh dalam mencapai kesempurnaan sholat itu sendiri.
Sahabat sekarang mari kita bicara soal cinta
Cinta...saya
yakin semua orang mampu mendefinisikannya. Tentu dengan versinya
masing-masing. Namun benang merah dari kata cinta tidak lain adalah
‘kebahagiaan’. dan kebahagiaan itu akan hadir karena ada cinta yang menyelimuti.
Kembali
saya merenung dengan renungan yang begitu dalam. Jika cinta
menghadirkan kebahagiaan dan ketenangan bathin, lalu kenapa sholat yang
saya lakukan tak memiliki atsar dihati terdalam??
Kenapa tilawah lembar demi lembar berlalu begitu saja? Bukankah
al-Qur’an itu tidak lain adalah surat cinta dari Sang Kekasih?? Yang
apabila dibaca akan merasakan kehadiran-Nya di sisi?? Bukankah
membacanya adalah ekspersi kerinduan hati pada Sang Kekasih?? Bukankah
jika benar-benar cinta ketika membaca akan terbayang wajah-Nya?? saya
pun mencoba bertanya pada diri ini...lalu, adakah cinta dihati ini
untuk-Nya..?? ya Allah ada apa dengan cinta?? Dimana cintaku pada-Mu??
Jujur
saya katakan, Selama ini saya selalu mengatakan mencintai Allah lebih
dari segalanya. Namun prakteknya?? Saya tak mampu menghadirkan
kebahagiaan dan desiran ketenangan saat “berhubungan intim” dengannya
lewat sholat..padahal sekali lagi saya katakan..bahwa DIA berkata dalam
surat cinta-Nya..”hanya dengan menyebut asma-Ku, hati menjadi tenang”.
Namun apa yang terjadi?? Sholat-sholat saya serta lembar demi lembar
mushaf al-QurĂ¡n sudah saya baca berulang kali, namun ketenangan yang
seharusnya saya rasakan tak juga datang?? “ya Allah dimana cintaku
pada-Mu??” Astaghfirullah..
Sementara Allah berkata dalam firman-Nya :
“Katakanlah!
‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu,
kaum keluargamu, harta-benda yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu
khawatiri akan merugi dan rumah tangga yang kamu senangi (manakala itu
semua) lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang fasik.”
Ya Allah...berilah aku petunjuk, dan lindungilah aku dari sifat-sifat orang fasik dan munafik..
Jelas,
ada yang salah dengan diri ini..jika ditanya “cinta kah engkau dengan
Allah??” Tentu saya akan menjawab. “ya, saya mencintai-Nya lebih dari
apapun” namun jika ditanya kembali “apa buktiny??” ini yang berat untuk
dijawab..karena memang kenyatannya cinta kita hanya sebatas di lisan
saja, belum dalam tataran hati dan amal. Jika cinta kita memang
benar-benar utuh kepada-Nya, semestinya kita selalu merasa aman dan
tenang dimana dan kapanpun. Seperti Rasulullah Saw, ketika sedang
istirahat karena kelelahan setelah mengahdapi musuh-musuh Allah dalam
peperangan di Dzu Amarr.
Beliau istirahat dan tertidur pulas di bawah
pohon besar seorang diri, tanpa ada sahabat yang menemaninya. Lalu
datanglah musuh Allah bernama Da’tsur yang membangunkan Rasulullah
dengan menghunuskan pedang ke wajah beliau. Dan da’tsur pun berkata
“kini, siapa yang akan menyelamatkan mu wahai Muhammad??” dengan tenang
dan teguh Rasulullah menjawab “Allah”. Jawaban Rasulullah itu, seketika
membuat Da’tsur gemetar dan menjatuhkan pedangnya. Bagaimana jika kita
dalam kondisi Rasulullah?? Mungkin langit serasa runtuh, dan dibenak
kita yang ada adalah mati saat itu jugaa, atau mati dengan penyiksaan
terlebih dahulu.
Istri
saya sering berkata..”kalo ada abi disisi aku, aku merasa nyaman dan
tenang bi” ya begitulah cinta menghadirkan kenyamanan dan ketenangan.
Seorang anak juga sering berkata pada ayahnya. “kalo ada ayah, aku
berani deh” ya begitu pula cinta, ia menghadirkan keberanian. Begitu
pun seharusnya cinta kita kepada-Nya, harus menghadirkan, ketenangan,
kenyamanan, kebahagiaan, keberanian, keteguhan, keindahan serta
nilai-nilai positif lainnya. Jika tidak demikian, ada yang harus
dievaluasi dengan diri kita.
cinta...
adalah kata yang mampu merubah segalanya...
ia harus slalu dirawat dan dijaga...
aku ingin mencintai istriku sesempurna mungkin...
aku ingin mencintai anak ku dengan kasih sayang seutuhnya...
aku ingin mencintai ibuku setulus dan sesuci embun...
aku ingin mencintai saudara saudaraku dengan segenap perhatian ku pada mereka...
namun... aku ingin mencinta ALLAH dan RASUL-NYA di atas segalanya...
diatas cinta ku pada ibu, istri dan anak ku..
diatas cinta ku pada saudara2 ku
diatas cintaku pada harta, kemewahan dan bisnis perdaganganku,
diatas bentangan hutan yang luas dan damai membentang
diatas lautan yang biru mempesona..
diatas samudra..
di atas segalanya...
aku ingin sholat ku berdasarkan cinta bukan kewajiban
aku ingin sholat ku menjadi media pemuas rinduku pada-Mu
aku ingin sholat ku menjadi tempat ku untuk berdialog langsung pada-Mu...
aku ingin tilawahku laksana membaca surat dari sang Kekasih tercinta...bukan sekedar
menghabiskan lembar demi lembar tanpa makna, tanpa bekas...
aku ingin menjalankan sunnah hanya karena benar2 cinta pada Muhammad bin Abdullah...
ya Allah...aku ingin itu semua ada pada ku...
karenanya ya Allah...
karuniakan lah untuk ku..rasa cinta suci kepada-Mu dan Rasul-Mu
cinta yang tak akan terhapus oleh angin yang meniupnya...
cinta yang tak akan hangus oleh api yang membakarnya...
cinta yang tak akan lapuk oleh hujan yang menyiraminya...
cinta yang tak akan gersang oleh terik matahari yang membakarnya...
amien...
(Taris Suprayitno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar