Oleh : Cahyadi Takariawan
Ketika engkau melakukan kesalahan, maka hanya dengan bertaubat dan
memohon ampunan kepada Allah, engkau memiliki harapan untuk mendapat
kebaikan dan pertolongan. Hukuman kesunyian itu sangat menyiksamu,
sangat melelahkanmu, sangat menguras perasaan dan mendatangkan
kelelahan batin yang teramat sangat. Pada konsisi seperti itu engkau
ingin sedikit berbagi, ingin sedikit mendapat perhatian, ingin sedikit
mendapat apresiasi.
Sempit dadamu terasa hampir meledak. Kau beranikan diri datang
kepada seorang kerabat yang engkau sangat yakin ia akan bisa
menolongmu. Berharap ia akan sedikit meringankan penderitaanmu. Sekedar
memberi apresiasi, sekedar berbagi, yang dengan itu engkau akan
meluapkan perasaan yang terpendam.
Mencari Pertolongan
Ka’ab berusaha menenangkan hati. Rasa bersalah, rasa gelisah dan
resah, bercampuraduk. Diberanikan diri mendatangi rumah seorang kerabat.
“Pada suatu hari, aku mengetuk pintu pagar Abu Qatadah, saudara
misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan
salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku”.
Abu Qatadah, ia saudara yang amat dicintai Ka’ab. Berharap mau
mendengarkan pembicaraannya, namun itu tidak terjadi. Menjawab salam
pun tidak. Seakan sudah putus hubungan sama sekali. Seakan persaudaraan
yang telah terjalin sekian lama itu tidak berarti lagi. Namun Abu
Qatadah juga sedang melaksanakan perintah, sebagaimana sahabat lainnya,
bahwa mereka tidak boleh berbicara kepada Ka’ab, Murarah dan Hilal.
Jangan salahkan Abu Qatadah. Ia juga hanya menjalankan perintah dari
qiyadah. Semua telah menjalankan amanah, dan lihatlah betapa mulia
sikap mereka. Ka’ab tetap berusaha mendapat sedikit apresiasi dari
saudaranya itu.
“Aku menegurnya, ‘Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tahu bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Sebuah pertanyaan kecil, untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi. Namun Abu Qatadah tidak bergeming.
“Ia diam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam.
Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku
mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya
lebih tahu!”
Empat kali Ka’ab menyampaikan pertanyaan itu, sekedar mendengar
jawaban kecil dari saudaranya itu. Mungkin jawaban “Ya, aku mengetahui
itu” sudah akan sangat menyenangkan dan menenangkan hati Ka’ab. Namun
Abu Qatadah tidak mau bertindak lancang. Ia hanya diam. Itu adalah
sikap standar dalam situasi hukuman sunyi yang diberikan kepada Ka’ab.
“Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa”.
Allah dan Rasul Lebih Tahu Kondisimu
Lihat betapa tegar Abu Qatadah bertahan. Kita yakin ia pasti tahu
betapa kecintaan Ka’ab kepada Allah dan Rasul yang sangat besar. Jika
Ka’ab tidak mencintai Allah dan Rasul, sudah pasti ia akan menjadi
orang munafik yang membawa alasan palsu serta membuat sumpah palsu di
hadapan Nabi Saw. Namun ia tidak mau melakukan itu.
Ia hanya mengatakan, setelah empat kali pertanyaan dilontarkan Ka’ab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Kira-kira ingin berpesan kepada Ka’ab, kembalilah kepada Allah dan
Rasul. Sungguh Allah dan Rasul lebih tahu kondisimu, dibandingkan
dengan aku atau manusia lainnya.
Maka berharaplah hanya kepada Allah atas segala yang kau inginkan.
Jika engkau berharap pengampunan, sesungguhnya Allah Maha Pengampun.
Jika engkau berharap pertolongan, sesungguhnya Allah Maha Penolong.
Jika engkau berharap pengertian, maka sungguh Allah Maha Mengetahui
segala yang tampak dan yang tersembunyi.
Engkau tidak bisa berharap dari manusia, karena semua manusia lemah
dan penuh keterbatasan. Jika engkau telah menempuh jalan kebenaran,
hadapi semua resiko yang ada di dalamnya dan jangan menjadi cengeng
oleh karena perlakuan yang engkau terima di jalan ini.
Mungkin engkau merasa, betapa kejamnya qiyadah kepadaku. Mungkin
engkau merasa, beta teganya jama’ah kepada diriku. Bukankah aku telah
berkontribusi, aku telah berbakti, aku telah terlibat di jalan ini
dengan sepenuh hati, mengapa aku harus diperlakukan seperti ini ?
Mengapa orang-orang yang belum jelas kontribusinya justru diberi
kebebasan, sementara aku yang telah mengukir jasa justru diperlakukan
dengan pemberian hukuman ?
Mungkin engkau menjadi melankolis dan merasa dizalimi, lalu engkau
merasakan aroma ketidakadilan atas keputusan yang diberikan kepadamu.
Namun itu tidak boleh engkau jadikan alasan untuk disersi, karena itu
keputusan musyawarah. Itu keputusan jama’ah. Di antara kita memang
tidak ada Nabi, dan kita semua sama sekali tidak sekualitas para
sahabat Nabi. Sangat jauh dari itu. Namun kita memiliki sistem, kita
memiliki mekanisme, kita memiliki konstitusi, kita juga memiliki
pimpinan. Itu yang harus kita ikuti.
Saat hatimu merasakan kesempitan karena “perlakuan” jama’ah kepada
dirimu, ingatlah engkau memiliki Allah yang bisa menolongmu. Saat
perasaanmu merasa disakiti karena hukuman yang diberikan kepada dirimu,
ingatlah engkau memiliki Allah untuk tempat berlindung, tempat mengadu,
dan tempat mencurahkan segala isi hati. Jangan ikuti perasaan itu,
jangan disikapi dengan berlebihan kata hati itu, kembalilah kepada
ketegaran jiwamu sebagai mujahid, sebagai kader dakwah yang gagah.
“Memang aku bersalah, maka aku menerima keputusan jama’ah kepada
diriku”. Katakan itu dengan yakin dan mantap dalam jiwamu, sembari
berharap Allah akan mengampuni dan memberikan kebaikan kepadamu.
Benar kata Abu Qatadah, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!” Ya, Allah
lebih tahu kondisimu, maka mendekatlah kepadaNya. Jangan menjauh
dariNya.
(Bersambung)