Ngetop Abizzz...

Kamis, 10 Mei 2012

Ishad Manji, Terapi Syok Untuk Umat Islam Oleh Inteligen



ishad manji dalam diskusi Sebelumnya tentu orang Indonesia banyak yang tidak kenal dengan sosok Ishad Manji, ia malah diperkenalkan oleh publik Indonesia dengan berbagai aksi “tenar”. Bagai sosok sang bintang ia terus diikuti oleh beberapa rang, baik yang pro dan yang kontra!

Sebetulnya siapa Ishad Manji? Bisa dipetik dalam garis besarnya, bahwa dia memahami agama sesuai dengan kehendak hatinya. Ia tidak ingin menempatkan agama sesuai dengan dalil yang jelas, agama hanya dijadikan “perasaan” saja baginya. Jika menurutnya baik, ia kerjakan tetapi jika menurutnya tidak baik maka ia menolak, walaupun itu merupakan larangan dalam Islam. Sebagaimana Ia menolak untuk berlaku sebagai wanita pada umumnya, yaitu tidak menyukai sesama wanita (lesbi). Islam jelas mengharamkannya, tetapi bagi Ishad Manji halal selama hatinya berkata halal.


Ia menganggap bahwa itu adalah ijtihadnya, tetapi sayangnya ia juga tidak mampu memberikan argumentasi siapa yang boleh berijtihad dan siapa yang tidak. Padahal ada berbagai batasan dalam sebuah ijtihad. Nah, inilah keunggulan Liberal. Bahkan tukang becak yang tidak mengenyam pendidikan pun bisa dianggap boleh berijtihad. Tentu ini malah merendahkan hukum Islam yang lebih menekankan untuk bertanya kepada orang yang mengetahui (berpendidikan).

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl : 43, Al-Anbiya' : 7).
Sebagai orang yang tidak paham agama, tentu pemikiran Ishad Manji tidak masuk batasan sebagai konsep agama, ia hanya masuk pada ruang lingkup ide dan sekedar wacana yang diambil dari konsep dirinya sendiri, bukan diambil pada konsep Islam secara benar. Walaupun ia mengambil beberapa dalil Al Quran untuk membenarkan idenya, maka ia tertolak dari konsep kebenaran karena yang “dipertuhankan” adalah akalnya.

Sesungguhnya akal merupakan pilihan yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia untuk bisa menjadikan orang berfikir tentang hukum Allah SWT, bukan untuk mempertuhankannya (akal). Ibarat orang Yahudi yang dilarang untuk menjala ikan pada hari sabtu, dengan modal “akal” orang Yahudi memasang jala ikan pada hari Jumat dan mengambilnya pada hari ahad (minggu).

Jika dilihat dari “akal” tentu perbuatan orang Yahudi ini tidak melanggar perintah, karena larangan mengambil ikan itu pada hari Sabtu, bukan Jum’at atau Ahad. Tetapi ini masuk menjadi kata mengakali hukum Allah SWT. Mengakali ini konotasinya adalah mengutak-atik, ini sama dengan menggunakan akal, tetapi akalnya digunakan untuk menentang hukum Allah SWT.

Menentang hukum Allah SWT, dalam Islam sama dengan orang yang tidak berakal atau lemah akal.
“Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS Qaaf 36-37)
Kita mengingatkan bahwa Allah SWT akan membinasakan manusia jika sudah melanggar perintahnya dan lebih kepada menuruti akal nafsunya semata. Dan Ia akan menggantikan umat yang baru untuk menggantikan umat sebelumnya.

Sebagaimana perbuatah kaum homo, lesbi pada saat jaman Nabi Luth. Mereka dibinasakan karena menentang hukum Allah SWT. Apakah Ishad Manji tidak memikirkan hal ini? Jika tidak, boleh jadi memang ia lemah akal atau memang tidak berakal.

Berbicara tentang Islam, mesti dilandasi dengan dalil, bukan perasaan apalagi sekedar nurani yang mendewakan akal sebagai tuhan pertamanya. Bisa jadi ia akan tersesat karena orang-orang seperti ini akan menjadi ghurur (terperdaya) atas sikap ghuluwnya (melampaui batas).
Walaupun begitu, sebagai seorang muslim sikap lemah lembut dan kasih sayang harus mestilah diutamakan. Melihat Ishad Manji seharusnya kita sebagai umat Islam merasa kasihan dengan lemah akalnya tersebut. Sehingga jangan sampai pemikiran Ishad Manji yang ketika ia keluar dari Madrasah menjadi pembenaran bagi dia, “apa yang dipelajarinya di madrasah bukanlah pendidikan, tetapi doktrinasi”

Tentu jika kita melihat pola doktrinasi, maka kita akan melihat berhentinya seseorang berfikir dan hanya berfikir pada pola satu keberfikiran. Ternyata ini yang menjadi masalah bagi Ishad Manji, bahwa ketika ia banyak mengutarakan pertanyaan-pertanyaan agama, sang guru Islam tidak mampu memberikan jawaban, bahkan ia harus dikeluarkan karena Ishad Manji terlalu banyak bertanya.

Tentu sebagai seorang guru, apalagi guru agama. Semestinya wajib harus bisa menjawab pertanyaan muridnya, jika guru tidak bisa menjawab pertanyaan muridnya semestinya ia belajar lagi untuk berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya. Jangan sampai pertanyaan itu malah membuat keberfikiran seorang anak mengenai sesuatu menjadi terhenti. Sehingga akan ada jawaban lain yang bisa jadi dan sering kali terjadi adalah jawaban individu yang akhirnya menyimpang dari koridor agama, sebagaimana orang Liberal ini.

Pola penggerebakan, anarkisme atau hal-hal yang lainnya. Ini merupakan pola indoktrinasi yang menghilangkan pintu dialog, ia tidak lagi berbicara tetapi hanya reaksional semata. Yang akhirnya terlihat saling gebak-gebuk orang. Jika orang liberal mempunyai ide radikal liberal, semestinya umat Islam juga memberikan ide radikal Islamnya. Bukan radikal gerakannya!

Ide dilawan dengan ide, semestinya itu yang mesti terjadi. Jika ada diskusi Ishad Manji atau para tokoh liberal lainnya, semestinya tokoh Islam datang untuk menangkal ide tersebut. Bukan malah pengikut-pengikutnya yang malah disuruh gebukin para peserta seminar dalam dialog.
Boleh saja datang dengan rame-rame untuk ikut dialog, dan meminta (sedikit memaksa) untuk ikut juga “menjual” ide Islam. Jika ide Liberal dijual dengan dengan idealisme liberal mereka, masa iya kita kalah dengan mereka untuk juga menjual ide idealisme Islam kita. Bukan malah memperlihatkan kekerasan, dan kekuatan.

Kita ini dinegara demokrasi, setiap orang berhak menjual idenya, termasuk Liberal. Maka dari itu, Islam semestinya tampil mendominasi untuk menjual ide Islam. Bukan kekerasan yang malah dilabelkan pada Islam! Ibaratnya, jika mereka ingin adu pintar, layani dengan kepintaran. Kalau mereka adu kekuatan layani dengan kekuatan, jangan sampai menjadi orang yang zhalim melayani seseorang tanpa melihat situasi yang sebenarnya.

Peran Inteligen
Sepertinya ada peran inteligen dalam mengembangkan konflik supaya Ishad Manji semakin laris manis atas buku yang dijualnya. Sebagaimana kita tahu semua bahwa orang Indonesia belum mengenal Ishad Manji, maka diperkenalkanlah ia dengan cara kontroversial. Cara yang merasa bahwa Ishad Manji telah terzhalimi, ini tentu akan membuat buku-bukunya laris manis, dan pemikirannya semakin populer di Indonesia.
Jadi, sebaiknya tak harus menghadapi isu dengan reaksi semata. Harus mampu benar-benar mengendalikan agar seseorang tidak malah tenar dengan sikap yang kita perlihatkan pada publik.

Penggerebakan, pembubaran aksi kekerasan dan pengrusakan bisa jadi merupakan sebuah “iklan” gratis untuk menggambarkan bahwa seseorang telah melakukan kezhaliman kepada orang lain. Sehingga media mempunyai banyak pemberitaan mengenai hal tersebut, dan nama Ishad Manji semakin populer di Indonesia.

Indonesia ini adalah negara 1001 konflik, peran inteligen sangat kuat sekali untuk menimbulkan konflik dan bisa menstimulus agar citra umat Islam semakin tersudut. Jadi sebelum bertindak, berfikirlah terlebih dahulu. Jangan sampai orang-orang yang menggerebek Ishad Manji hakekatnya hanya berfikiran seperti Ishad Manjid, yaitu berfikir dengan “perasaan” bukan dengan dalil Islam yang benar.
Beragama dengan perasaan tidak akan mengetahui kebenaran kecuali hanya sebatas egoisme pemahaman semata. Lalu, apa bedanya si Penggerebek dan Ishad Manji?

suaranews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar