Ditengah bertaburnya para bintang sepak bola, tidak menyangka diantara mereka ternyata banyak ya...
Jumat, 11 Mei 2012
HIDUP ITU MEMILIH
Oleh : Ust. Ahmad Mudzoffar Jufri
Hidup di dunia ini dengan berbagai aspeknya selalu menghadirkan
pilihan-pilihan. Dan semua kita yang masih hidup harus dan pasti memilih
diantara pilihan-pilihan yang tersedia. Tidak mungkin tidak.
Perbedaannya mungkin hanya apakah sebuah pilihan diambil dengan penuh
kesadaran, kesengajaan, pemahaman, pertimbangan, perhitungan, dan
pertanggungan jawab, ataukah tidak. Bahkan termasuk sikap tidak memilih
itu sendiri sebenarnya juga sebuah pilihan.
Dan kualitas diri
seseorang itu ditentukan antara lain oleh sikap dan caranya dalam
menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya, serta kemampuannya dalam
mempertanggung jawabkan setiap pilihan yang diambilnya.
Karena
setiap pilihan dalam hidup pasti ada konsekuensi dan resikonya, maka
biasakanlah diri agar selalu memilih secara sadar, sengaja dan
bertanggung jawab. Lebih-lebih lagi karena setiap pilihan juga pasti
akan ditanya tentangnya dan diminta pertanggungan jawabnya. Maka
janganlah pernah sekali-kali tidak peduli dalam memilih apa saja dan
siapa saja.
Oleh karena itu, kesiapan yang baik dalam memenuhi
konskuensi setiap pilihan, dan kekuatan yang memadai dalam
mengantisipasi resiko-resikonya , tak jarang justru jauh lebih penting
daripada bentuk dan jenis pilihannya itu sendiri. Maka orang lemah
adalah orang yang memilih dengan tanpa mengantisipasi konsekuensi dan
resiko pilihannya. Dan lebih lemah lagi, adalah yang bahkan tidak
memikirkan dan memperhitungkannya sama sekali.
Lalu, disamping
pertimbangan akan resiko dan konskuensi, nilai sebuah pilihan utamanya
juga sangat ditentukan oleh dasar dan standar yang dipakai oleh setiap
pemilih dalam menentukan pilihan. Sehingga kontras dan ekstremnya
perbedaan pilihan atau penilaian terhadapnya antar berbagai pihak,
seringkali karena perbedaan dasar dan standar yang dipakai oleh
masing-masing. Maka agar adil dan tidak salah, sebelum menilai pilihan
seseorang atau suatu kelompok dalam hal-hal opsional tertentu,
sangatlah penting sekali bila kita terlebih dulu mengetahui dan
memahami dasar serta standar yang dipakainya secara baik dan
proporsional.
Dan bila dilihat dari sifat, dasar dan standar
yang dipakai, maka akan didapati bahwa, ada dua jenis atau kategori
pilihan. Yaitu jenis dan kategiri pilihan dengan dasar dan standar
idealistis, serta jenis dan kategiri pilihan dengan dasar pertimbangan
realistis. Dan sikap terbaik dan terideal adalah yang selalu berupaya
menentukan pilihan dengan cara memadukan antar keduanya. Namun
masalahnya, akan selalu ada saja sikap-sikap ekstrem dan kontradiktif.
Dimana ada yang terlalu idealistis sampai tidak mau mengakui adanya
pilihan dengan dasar pertimbangan realstis. Sementara yang lain
realistis secara berlebihan, sehingga tampak atau minimal terkesan abai
terhadap kaedah-kaedah dasar dan prinsip-prinsip standar idealstis.
Maka akan sangat kontras sekali hasilnya, kala pilihan dengan dasar
pertimbangan realistis misalnya, dinilai dengan standar dan parameter
idealistis murni. Sebagaimana begitu pula sebaliknya, pilihan-pilihan
dengan standar dan parameter idealistis, tidak akan bisa dan mampu
dipahami dengan baik dan benar serta proporsional oleh yang hanya
berorientasi dan berpola pikir realistis semata.
Selanjutnya, merupakan salah satu realita dan fakta yang tak
terpungkiri bahwa, mayoritas pilihan dalam berbagai aspek dan masalah
kehidupan saat ini adalah merupakan pilihan-pilihan realistis. Karena
memang hampir-hampir tidak ada pilihan di bidang apapun yang dasar dan
landasannya idealistis murni. Maka umumnya sangat dilematis sekaligus
controversial sekali. Memang kaidah normatif yang mengikat setiap
muslim dan muslimah dalam hidup ini bahwa, dalam menentukan atau
menilai setiap pilihan apapun, semestinya ia selalu mengacu pada
standar dan parameter idealistis, untuk memperoleh pilihan yang ideal
pula. Namun betapa sulitnya mendapatkan pilihan ideal itu di dalam
realita kehidupan seperti sekarang ini, dimana mayoritas aspeknya telah
demikian jauh atau terjauhkan dari standar komitmen, kontrol dan arahan
syar’i.
Sehingga hampir-hampir saja kita selalu dihadapkan
pada pilihan-pilihan yang tidak ada satupun diantaranya yang ideal.
Sementara itu kita tidak bisa atau tidak mungkin atau tidak dibenarkan
untuk tidak memilih! Dan itu dalam hampir semua aspek kehidupan; dalam
aspek sosial, pendidikan, seni budaya, ekonomi, pekerjaan, media,
berbagai sarana, hukum, politik, dan lain-lain. Nah dalam realita
dan kondisi seperti itu, standar dan parameter yang harus dipakai dan
diterapkan dalam menentukan suatu pilihan tertentu atau dalam
menilainya haruslah standar realistis, dan bukan standar idealistis.
Karena memang pilihan manapun yang diambil oleh siapapun tentulah
merupakan pilihan realistis pula, dan tidak mungkin ada pilihan yang
idealistis.
Sebagai contoh misalnya dalam bidang dakwah
Islam. Jika penerapan prinsip tadarruj (pentahapan) dalam perjuangan
dakwah Islam diibaratkan naik tangga, dan puncak idealita islami murni
itu ada di tangga 10 misalnya, sementara marhalah (tahapan) dakwah saat
ini baru sampai tangga 3 misalnya, maka pilihan-pilihan dakwah di
marhalah ini haruslah ditentukan dan dinilai berdasarkan standar dan
parameter tangga 3 dan bukan tangga 5 atau tangga 7 atau apalagi tangga
10! Dan kaidah penting dalam melakukan muwazanat (perbandingan dan
pertimbangan) diantara pilihan-pilihan realistis adalah sebagai
berikut: Selama diantara pilihan-pilihan realistis itu masih bisa
dibedakan, maka secara syar’i seorang muslim atau muslimah tetap wajib
memilih diantara pilihan-pilihan yang ada itu, dan tidak dibenarkan
bersikap netral atau abstain dengan tidak menentukan pilihan tertentu
di antara pilihan-pilihan yang tersedia. Dan yang dimaksud dengan
“masih bisa dibedakan” itu yakni selama masih bisa dibedakan dalam hal
baik-buruknya dan maslahat-madharatnya, atau masih bisa dibedakan dalam
hal tingkat kebaikan dan kemaslahatannya ataupun tingkat keburukan dan
kemadharatannya!
Saat kita dihadapkan pada pilihan-pilihan
yang semuanya buruk dan madharat, seperti kebanyakan pilihan yang ada
di hadapan kita selama ini, maka secara syar’I kita wajib memilih yang
tingkat keburukan dan kemadharatannya lebih atau paling ringan dan
paling rendah. Karena hanya dengan cara itulah kita bisa mencegah
pilihan yang lebih atau paling buruk dan paling madharat. Jadi babnya
disini adalah demi melakukan kewajiban inkarul munkaril akbar
(pengingkaran atau pencegahan terhadap kemungkaran yang lebih atau
paling besar), yang hanya mungkin dilakuakan dengan terpaksa memilih,
berpihak dan mendukung al-munkar al-ashghar (kemungkaran yang lebih
atau paling kecil), sesuai kaidah ikhtiyar ahwanisy-syarrain atau
akhaffidh-dhararain (memilih atau menolerir keburukan/kemadharatan yang
lebih ringan dan lebih kecil diantara dua pilihan buruk/madharatyang
ada) di dalam ushul fiqih.
Dan terakhir, yang juga sangat
penting disadari dan diingat bahwa, sikap netral atau abstain, yang
biasa diistilahkan golput (golongan putih?) dalam menghadapi
pilihan-pilihan realistis yang kesemuanya buruk dan madharat, namun
masih bisa dibedakan tingkat keburukan dan kemadharatannya, pada
hakekatnya merupakan sikap “memihak” dan “memenangkan” pilihan yang
lebih atau paling buruk. Namun hal itu sering tidak disadari oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar