Ngetop Abizzz...

Selasa, 10 Januari 2012

Budaya Sungkan, Pekewuh, dan Rasa Tidak Enak

Oleh: Cahyadi Takariawan

Perasaan sungkan, atau pekewuh, atau “tidak enak”, adalah salah satu bagian dari ruang kemanusiaan kita. Dia bisa positif, bisa negatif. Tergantung konteksnya. Tergantung bagaimana kita menerapkannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan antarpersonal, hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan dalam organisasi, dan lain sebagainya, selalu ada ruang perasaan kemanusiaan. Mungkin, ini salah satu perbedaan robot atau mesin, dengan manusia.

Negatif, jika contohnya semacam ini. Kita sungkan menegur orang tua walaupun ia melakukan perbuatan tercela. Kita pekewuh mengingatkan senior, kendati ia melakukan kesalahan. Kita tidak enak untuk menasihati pemimpin atau atasan, meski kita tahu ia melakukan pelanggaran.

Positif, jika contohnya semacam ini. Kita sungkan melakukan kesalahan, karena khwatir akan dijadikan contoh oleh orang lain. Kita pekewuh jika melanggar aturan, karena khawatir pelanggaran itu akan menjadi awal kerusakan budaya organisasi. Kita tidak enak melakukan perbuata tercela, karena kita tahu itu akan menimbulkan dosa.

Alkisah. Seorang alim tengah mengajar di sebuah majelis taklim, dan ternyata ia membaca kitab dengan bacaan yang salah, entah sengaja, atau memang benar-benar salah. Beberapa murid yang mengerti kesalahan tersebut diam saja dan tidak berani mengingatkan, karena sungkan kepada sang alim yang ilmunya jauh lebih banyak dibanding para murid.

”Bagaimana kita akan mengingatkan, sedangkan sang alim adalah guru dan referensi kami”, demikian kata para murid.
Maka, ustadz Tulus Musthofa, MA, seorang guru dan sahabat saya, sangat sering menyampaikan di berbagai forum dan kesempatan. ”Saya sangat sedih, bahwa saya tidak mendapatkan hak saya untuk diberi tausiyah dan peringatan. Kalian selalu meminta saya untuk mengisi taklim, tatsqif, tausiyah dan lain sebagainya. Tapi kalian tidak mau menasihati dan mengingatkan saya”.

”Sangat berbahaya”, kata ustadz Tulus Musthofa, ”orang yang tidak pernah mendapat peringatan dan tausiyah. Tolong, sering-sering ingatkan saya, beri tausiyah saya, luruskan saya. Jangan biarkan saya melakukan kesalahan atau penyimpangan”, lanjut beliau.

Apa jawab para murid, ”Bagaimana kami akan mengingatkan ustadz kabir ? Alumnus Timur Tengah, menempuh pendidikan syari’ah, dan hampir menyelesaikan program doktoral…. Sedangkan kami hanya murid biasa”.

Alangkah jeleknya rasa sungkan, pekewuh dan tidak enak, jika berdampak membiarkan seseorang berada dalam kesesatan dan kesalahan….. Tentu ustadz Tulus Musthofa tidak berada dalam kesesatan dan kesalahan, namun beliau khawatir akan mudah berlaku salah jika tidak ada yang berani mengingatkan dan menegur beliau.

Terimakasih ustadz Tulus, atas ketulusan antum membuka ruang tausiyah dan pengingatan bagi diri antum. Semoga antum selalu berada dalam petunjuk dan hidayah serta ri’ayah dari Allah Ta’ala, yang membuat antum selalu berada di jalan-Nya yang lurus.

Lalu, dimana posisi diri saya?
Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, 10 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar